Orang yang sehat mempunyai beragam keinginan terhadap berbagai kenikmatan dunia, bisa mencapai ratusan, ribuan, bahkan jutaan keinginan. Akan tetapi, jutaan manusia yang sedang sakit hanya mempunyai satu keinginan yang sama yaitu sehat. Ini menunjukkan bahwa sehat adalah nikmat yang lebih besar dari sekian banyak kenikmatan dunia.2
Islam adalah agama yang paling sempurna. Tidak ada satu pun kebaikan dunia ataupun akhirat yang diabaikan. Islam telah menunjukkan segala kemaslahatan yang dibutuhkan manusia. Jangankan masalah yang sangat penting, masalah-masalah yang dianggap sepele pun telah ditegaskan etikanya oleh uswah 'teladan' kita. Oleh karena itu, Salman al-Farisi رضي الله عنه tatkala disindir tentang hal-hal yang dianggap sepele yang diajarkan Islam, maka dengan bangga dia mengatakan, "Benar, sungguh Nabi صلى الله عليه وسلم melarang kami menghadap kiblat saat buang hajat, bercebok dengan tangan kanan..." (HR. Muslim: 385)
Jika buang hajat telah dibahas oleh Islam melalui petunjuk Rasulullah صلى الله عليه وسلم maka mustahil Islam mengabaikan perkara yang lebih besar dan yang diinginkan setiap manusia, yaitu kesehatan dan cara pemeliharaannya. Oleh karena itu, tidak ada jalan terbaik untuk mendapatkan kesehatan melainkan dengan meneladani teladan terbaik umat ini (yakni Rasulullah صلى الله عليه وسلم), yang mana beliau lebih sering menikmati masa sehatnya dibanding masa sakitnya.
1. Makalah ini disadur dari materi penulis dalam acara kajian umum/bedah buku Mengapa Nabi Tidak Gampang Sakit di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur pada 5 Mei 2012.
2. Hal ini dibuktikan dari dahulu sampai sekarang. Sebagai contoh, dahulu sebelum Islam ada tiga orang bani Israil yang diuji oleh Allah عزّوجلّ dengan penyakit yang berbeda-beda (penyakit kusta, penyakit botak, dan buta) dan semuanya diuji dengan kekurangan harta, lalu mereka semua sepakat ketika ditanya tentang perkara yang paling mereka inginkan adalah sembuh dari penyakitnya, dan mereka tidak meminta kekayaan kecuali setelah penyakitnya sembuh (lihat HR. Bukhari: 3205 dan Muslim: 5265).
Sehat dan sakit pasti menimpa anak manusia. Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga demikian karena beliau adalah manusia biasa yang diciptakan Allah عزّوجلّ dari ayah dan ibunya.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم memang pernah sakit, tetapi sakit beliau tergolong sangat jarang dan itu pun biasanya faktor dari luar pribadinya bukan sebab kecerobohan atau kesengajaan, seperti sakit terkena sihir (HR. Bukhari: 3028), terkena racun orang Yahudi (HR. Bukhari: 5332), sakit terluka saat berperang (HR. Bukhari 12/466 dan Muslim 3346), sakit kepala sebab perjalanan (HR. Bukhari: 6677) dan semisalnya. Tidak dijumpai riwayat-riwayat yang menceritakan bahwa beliau sering terkena diare, sering muntah, sering batuk, dan lainnya.
Penulis tidak akan menjelaskan adab-adab makan Rasulullah صلى الله عليه وسلم secara keseluruhan seperti membaca basmalah, makan dengan tangan kanan, dan semisalnya karena telah dijelaskan dalam majalah ini pada edisi-edisi yang telah lalu. Akan tetapi, kami sebutkan di sini hanya pola makan Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang ada keterkaitan dengan memelihara kesehatan secara khusus sebagaimana dipaparkan oleh para ahli medis, dan bukan berarti yang tidak disebutkan di sini tidak ada kaitannya dengan kesehatan, bahkan semua petunjuk Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah yang terbaik bagi manusia.
1. MAKANAN YANG SEHAT HANYALAH YANG HALAL
Allah Mahabijaksana. Allah عزّوجلّ menghalalkan demikian banyak makanan dan minuman, dan mengharamkan sedikit saja darinya. Hai ini karena rahmat dan kasih sayang-Nya terhadap hamba-Nya. Sebagai buktinya, Allah عزّوجلّ tidak memerinci segala macam makanan dan minuman yang halal karena terlalu banyak jumlah dan macamnya. Sebaliknya, Dia memerinci satu-persatu makanan dan minuman yang haram karena jumlahnya yang sangat sedikit dibanding yang halal.1
Sebagai contoh dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ. إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik-baik dari apa yang Kami anugerahkan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah jika engkau benar-benar hanya menyembah kepada-Nya. Hanyalah Allah mengharamkan buat kamu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih bukan dengan nama Allah, tetapi siapa terpaksa tanpa ada keinginan dan melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. (QS. al-Baqarah [2]: 172-173)
Tidaklah Allah عزّوجلّ melarang sesuatu untuk hamba-Nya lalu tidak ada hikmah di dalamnya, sebab Allah Mahabijaksana. Oleh karenanya, setiap perkara yang dilarang pasti berdampak buruk bagi manusia, baik manusia tersebut mengetahui keburukannya atau tidak mengetahuinya, baik berdampak buruk bagi dunianya atau akhiratnya.
1. Lihat QS. al-A'raf [7]: 157 dan al-Baqarah [2]: 172.
2. MENGONSUMSI BERAGAM MAKANAN YANG
TERSEDIA DI NEGERINYA
TERSEDIA DI NEGERINYA
Demikianlah Rasulullah صلى الله عليه وسلم, beliau mengkomsumsi makanan dan minuman yang beraneka ragam yang ada menurut kebiasaan setempat. Beliau tidak membiasakan diri selalu makan atau minum salah satu jenis makanan atau minuman tertentu tanpa yang lain, karena hal itu justru membahayakan kesehatan dan suatu saat hal itu akan sangat menyulitkan. Jika seseorang terbiasa dengan satu jenis makanan atau minuman tertentu tanpa yang lainnya maka dia akan menjadi lemah dan binasa. Jika dia mengonsumsi jenis lain, padahal dia tidak terbiasa dengan yang lain, maka dia akan mendapati mudaratnya. Membatasi diri hanya mengonsumsi makanan atau minuman tertentu tanpa yang lain berakibat buruk meskipun makan atau minuman itu adalah jenis yang paling baik. Maka sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah صلى الله عليه وسلم, beliau mengonsumsi apa yang tersedia menurut kebiasaan setempat berupa daging, labu, cuka, buah-buahan, roti, kurma, susu, madu, dan lain-lain.1
Demikian pula termasuk kebiasaan Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah makan buah-buahan di negerinya yang sedang musim. Hal itu termasuk memelihara kesehatan karena Allah عزّوجلّ melimpahkan suatu jenis buah-buahan dalam jumlah yang besar supaya bisa dikonsumsi dan bermanfaat buat hamba-Nya.2
1. Diterjemahkan secara bebas dari perkataan Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad fi Hadyi Khairil 'Ibad 4/198-199, cet. Muassasah ar-Risalah, thn. 1418 H, dan ditambahkan dari Mukhtashar asy-Syama'il al-Muhammadiyah, Bab "Ma ja'a fi idami Rasulullah".
2. Zadul Ma'ad 4/201
3. MENYEIMBANGKAN SIFAT YANG BERLEBIH
DARI SUATU JENIS DENGAN LAWANNYA
(FOOD BALANCING)
DARI SUATU JENIS DENGAN LAWANNYA
(FOOD BALANCING)
Jika suatu jenis makanan memiliki sifat yang berlebihan, maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم biasanya menetralkannya dengan cara mencampurnya dengan makanan lain yang bersifat kebalikannya, seperti makanan yang memiliki sifat panas atau kering dicampur dengan sesuatu yang bersifat dingin atau berair.1 Dalam hadits diterangkan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ الْقِثَّاءَ بِالرُّطَبِ
Dari Abdullah bin Ja'far رضي الله عنه, beliau berkata, "Rasulullah صلى الله عليه وسلم biasa makan mentimun dengan kurma." (HR. Bukhari 2/506 dan Muslim 6/122)
Dalam hadits lain dijelaskan dari Aisyah رضي الله عنها beliau berkata:
كَانَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ الْبِطِّيخَ بِالرُّطَبِ
"Rasulullah صلى الله عليه وسلم biasa makan semangka dengan kurma." (HR. Tirmidzi: 1844, Abu Dawud: 3836, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Shahihah: 56)
1. Zadul Ma'ad 4/199
4. TIDAK MEMAKSAKAN DIRI TERHADAP
SESUATU YANG TIDAK DISUKAI
SESUATU YANG TIDAK DISUKAI
Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak memaksakan diri mengonsumsi sesuatu yang tidak dia suka, meskipun sesuatu itu halal dan dimakan oleh para sahabatnya, seperti dhab (sejenis biawak)1 dan semisalnya. Ini adalah salah satu kunci menjaga kesehatan. Barangsiapa memaksakan diri mengonsumsi sesuatu yang tidak ia sukai dan ia tidak bernafsu kepadanya, maka mudarat baginya lebih besar daripada manfaatnya.2
Oleh karena itu, jika ada orang yang sakit maka tidak boleh dipaksa untuk makan sesuatu yang dia tidak mau. Hai ini sebagaimana sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
لَا تُكْرِهُوا مَرْضَاكُمْ عَلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ، فَإِنَّ اللَّهَ يُطْعِمُهُمْ وَيَسْقِيهِمْ
"Janganlah kamu memaksa orang sakit untuk makan dan minum karena Allah-lah yang memberinya makan dan minum." (HR. Tirmidzi: 2040, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah: 727)
Orang yang sedang sakit akan menolak beberapa jenis makanan. Hal itu lantaran badan dan alat pencernaannya sedang disibukkan melawan penyakit sehingga akan lebih berbahaya jika disibukkan lagi dengan mengonsumsi makanan yang tidak ia sukai. Hanya, bila seorang yang sakit akan menjadi lebih buruk jika tidak makan dan minum, maka boleh dipaksakan makan atau minum, lebih-lebih lagi minum obat yang akan meredakan atau menyembuhkan sakitnya.3
1. Dhab/ضَبٌّ (genus: Uromastyx) berbeda dengan biawak/nyambik/monitor lizard/وَرَلٌ (genus: Varanus). Dhab adalah herbivora, sedang biawak adalah karnivora. (Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Biawak)
2. Diterjemahkan secara bebas dari perkataan Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad 4/199.
3. Fatawa Syabakah Islamiyah Mu'addalah 9/2886
5. MENGHINDARI YANG SANGAT PANAS
Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak makan dan minum sesuatu yang sangat panas, bahkan beliau melarangnya, sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas رضي الله عنهما, beliau mengatakan:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُتَنَفَّسَ فِي الْإِنَاءِ أَوْ يُنْفَخَ فِيهِ
"Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang bernapas di bejana atau meniupnya." (HR. Abu Dawud 3728, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah: 3428)
Hadits ini menunjukkan larangan bernapas dan meniup makanan atau minuman yang sangat panas. Selain itu, hal itu juga membahayakan kesehatan sebab orang yang bernapas atau meniup akan mengeluarkan CO2 sehingga akan bercampur dengan uap panas yang berbahaya jika dihirup dan akan merusak keasaman darah manusia.
Hadits ini juga mengisyaratkan supaya kita bersabar menunggu sampai makanan atau minuman itu reda panasnya, sebab jika seseorang makan atau minum sesuatu yang sangat panas makan akan mengakibatkan iritasi tenggorokan, kemudian infeksi, lalu berakibat kanker tenggorokan dan semisalnya.
6. MINUM DENGAN DUDUK, KECUALI
BILA KONDISI MENDESAK
BILA KONDISI MENDESAK
Sebagaimana Nabi صلى الله عليه وسلم melarang dalam haditsnya:
عَنْ أَنَس أَنَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم زَجَرَ عَنْ الشُّرْبِ قَائِمًا
Dari Anas bin Malik رضي الله عنه (berkata), "Nabi صلى الله عليه وسلم melarang keras minum sambil berdiri." (HR. Muslim: 3771)
Hadits ini secara lahir menunjukkan keharaman minum sambil berdiri. Hanya, dalam hadits yang lain Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah minum sambil berdiri. Ini menunjukkan bahwa petunjuk Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam minum adalah dengan duduk, tetapi jika ada kondisi mendesak—seperti jika tempatnya sesak dan semisalnya—boleh-boleh saja minum sambil berdiri. Ibnu Abbas رضي الله عنهما berkata, "Aku pernah menuangkan air zamzam untuk Rasulullah صلى الله عليه وسلم, lalu beliau minum sambil berdiri." (HR. Bukhari dalam kitab al-Haj dan al-Asyribah, dan Muslim: 2027)
Adapun hikmah larangan minum sambil berdiri:1
• Tidak menghilangkan dahaga secara sempurna.
• Air tidak akan bertempat di badan sehingga kurang bermanfaat secara sempurna.
• Dikhawatirkan masuknya air dingin secara langsung dan cepat sehingga mengenai panas-nya saluran pencernaan sebab haus dan air langsung mengalir ke bagian bawah badan tanpa ada tahapan, dan ini semua membahayakan kesehatan jika dilakukan terus-menerus, tetapi jika hal itu dilakukan jarang-jarang (karena kondisi mendesak), maka hal ini tidak membahayakan.
1. Lihat perkataan ini oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad 4/210.
7. SEDERHANA DAN TIDAK BERLEBIHAN
TETAPI TIDAK KEKURANGAN
TETAPI TIDAK KEKURANGAN
Allah Ta'ala berfirman:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Dan makanlah serta minumlah, tetapi jangan ber-lebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. al-A'raf [7]: 31)
Ibnul Qayyim رحمه الله mengatakan, "Allah menunjuki hamba-Nya supaya mengonsumsi makanan dan minuman yang bermanfaat bagi tubuh sebagai ganti dari apa yang keluar darinya (supaya tidak kekurangan), dan hendaknya mengonsumsi (makanan dan minuman) menurut kadar yang dibutuhkan. Jika melebihi yang dibutuhkan maka itulah israf (berlebih-lebihan) dan kedua perkara ini (berlebih-lebihan dan kekurangan dalam makan dan minum) dapat menghalangi kesehatan, dan akan mendatangkan penyakit." (Zadul Ma'ad fi Hadyi Khairil 'Ibad 4/195)
Dalam sebuah hadits, Dari Miqdam bin Ma'dikarib رضي الله عنه, beliau berkata, "Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda;
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ حَسْبُ الْآدَمِيِّ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ غَلَبَتْ الْآدَمِيَّ نَفْسُهُ فَثُلُثٌ لِلطَّعَامِ وَثُلُثٌ لِلشَّرَابِ وَثُلُثٌ لِلنَّفَسِ
"Tidak ada suatu bejana yang diisi manusia yang lebih buruk dibandingkan perut. Cukuplah bagi manusia beberapa suap (makanan) untuk menegakkan tulang punggungnya. jika dia tidak kuasa maka cukup sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk bernapas." (HR. Ibnu Majah: 3340, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah: 2265)
Demikianlah teladan terbaik kita, dalam sebuah hadits, dari Sahl bin Sa'ad صلى الله عليه وسلم beliau berkata:
مَا شَبِعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْ يَوْمٍ شَبْعَتَيْنِ حَتَّى فَارَقَ الدُنْيَا
"Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak pernah kenyang dua kali dalam satu hari sampai beliau meninggal dunia." (HR. Thabrani, dan dinyatakan shahih li ghairihi oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wat Tarhib: 3268)
. TIDAK MEMBIASAKAN DIRI TERLALU KENYANG,
KECUALI SAAT-SAAT TERTENTU
KECUALI SAAT-SAAT TERTENTU
Makan terlalu kenyang bukan termasuk petunjuk Nabi صلى الله عليه وسلم, sebagaimana hadits-hadits di atas. Jika makan terlalu kenyang dilakukan terus-menerus maka hal itu akan berbahaya bagi kesehatan, sebagaimana dibuktikan oleh kenyataan dan dikuatkan secara medis.
Hanya, dibolehkan bagi seorang muslim makan sampai kenyang pada-saat-saat tertentu bukan menjadi kebiasaan sehari-harinya, terutama ketika menjamu tamu atau ketika dia sangat menginginkan makanan tersebut atau ketika sangat lapar dan semisalnya. Dalam sebuah hadits dikatakan oleh Malik bin Dinar رضي الله عنه:
مَا شَبِعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ خُبْزٍ قَطُّ وَلاَ لَحْمٍ إِلاَّ عَلَى ضَفَفٍ
"Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak pernah kenyang makan roti dan tidak pula daging kecuali jika menjamu tamu (maka beliau makan sampai kenyang)." (HR. Tirmidzi: 2357, dinyatakan mursal shahih1 oleh al-Albani dalam Mukhtashar asy-Syama'il al-Muhammadiyah hlm. 76-77)
Kisah di bawah ini juga menguatkan apa yang kita katakan:
Dari Anas bin Malik رضي الله عنه tatkala Nabi صلى الله عليه وسلم menikahi Zainab رضي الله عنها, kaum muslimin datang ke walimahnya, maka mereka makan lalu keluar. Nabi صلى الله عليه وسلم memasukkan tangannya ke makanan (yang sedikit) tersebut sambil berdo'a, (kemudian timbul-lah berkah) lalu mereka semua makan sampai kenyang. (HR. Bukhari: 4962 dan Muslim: 2573)2
Syaikh Abdul Aziz bin Baz رحمه الله mengatakan, "Nabi صلى الله عليه وسلم pernah memberikan minuman susu kepada ahlu shuffah. Abu Hurairah رضي الله عنه berkata, Aku memberikan susu kepada mereka (dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم) sehingga mereka semua kenyang, lalu Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, 'Minumlah, wahai Abu Hurairah!' Berkata (Abu Hurairah), Aku sudah minum.' Kemudian beliau berkata lagi, 'Minumlah!' Lalu aku minum, kemudian beliau berkata lagi, 'Minumlah!' Lalu aku minum lagi, lalu aku mengatakan, 'Demi Zat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sungguh aku tidak menjumpai tempat lagi untuk susu ini.' kemudian Nabi صلى الله عليه وسلم mengambil sisa air susu itu dan beliau meminumnya."' (HR. Bukhari 11/281-282 dengan Fathul Bari)
Syaikh Ibnu Baz رحمه الله berkata, "Kisah ini menunjukkan bolehnya kenyang dan puas (makan atau minum), tetapi tidak boleh sampai memudaratkan."3
Adapun perkataan yang dianggap hadits yang berbunyi;
نَحْنُ قَوْمٌ لاَ نَأْكُلُ حَتَّى نَجُوْعَ وَإِذَا أَكَلْنَا لاَ نَشْبَعُ
"Kami adalah kaum yang tidak akan makan sehingga kami lapar, dan jika makan kami tidak akan kenyang."
Maka perkataan ini belum kami jumpai dalam kitab-kitab hadits, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah/dalil.
Syaikh Bin Baz رحمه الله berkata, "Perkataan ini diriwayatkan dari para pendatang belakangan, dan dalam sanadnya ada yang lemah. Mereka bermaksud (dengan perkataan ini) supaya bersikap sederhana. Kalau demikian maka maknanya benar. Akan tetapi, (hadits ini) sanadnya lemah."
Lalu beliau menambahkan, "Hal ini akan bermanfaat jika seseorang makan ketika merasa lapar atau ketika membutuhkan makanan, dan tidak berlebih-lebihan serta terlalu kekenyangan. Adapun makan sampai kenyang, jika tidak memudharatkan maka boleh-boleh saja."4
1. Artinya, meskipun hadits ini hanya sampai pada seorang tabi'i, tetap dianggap shahih karena ada riwayat serupa dari Qatadah dari Anas رضي الله عنه, sehingga hadits di atas menjadi kuat. (Mukhtashar asy-Syama'il al-Muhammadiyah hlm. 76)
2. Dalam Perang Khandaq, Jabir bin Abdillah رضي الله عنه ; juga pernah mengundang Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersama dua atau tiga sahabatnya untuk makan di rumahnya, tetapi Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengajak sekitar 300 orang Muhajirin dan Anshar, lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang menciduk masakan dalam periuk yang hanya untuk sekitar beberapa orang saja, tetapi turunlah mukjizat-Nya, Nabi صلى الله عليه وسلم terus menciduk untuk satu per satu sahabatnya, sampai semuanya kenyang, bahkan masakan tersebut masih utuh di dalam periuk. (HR. Bukhari: 3792)
3. Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah Syaikh Ibnu Baz hlm. 126. Lihat pula penjelasan hadits di atas lebih lengkap dalam Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin 1/562-564 karya Salim bin Id al-Hilali, cet. Dar Ibnul Jauzi, thn.1418 H.
4. Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah Syaikh Ibnu Baz hlm. 122-123
9. MENGHINDARI PANTANGAN TERMASUK
AJARAN ISLAM
AJARAN ISLAM
Ada orang yang mengidap suaru penyakit dan disarankan oleh para ahlinya untuk menghindari makanan tertentu, lalu dia mengatakan, "Semuanya takdir Allah, sehat dan sakit juga demikian", lalu dia tidak menggubris nasihat sehingga menjadilah penyakitnya semakin parah. Padahal, dalam Islam, menjaga pantangan termasuk diajarkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan menghindari pantangan tidak bertentangan dengan takdir.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah صلى الله عليه وسلم makan kurma (yang belum matang) yang masih di tandannya di rumah Ummu Mundzir, lalu Ali رضي الله عنه, juga hendak mengambil kurma tersebut, kemudian Nabi صلى الله عليه وسلم menegurnya, "Berhenti, wahai Ali, bukankah engkau sakit?" Lalu Ali رضي الله عنه diam, sedangkan Nabi صلى الله عليه وسلم terus makan. Lalu Ummu Mundzir merebus kurma tersebut dicampur dengan gandum, kemudian Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
يَا عَلِيُّ مِنْ هَذَا فَأَصِبْ فَإِنَّهُ أَوْفَقُ لَكَ
"Wahai Ali, makanlah ini karena ini lebih cocok buat-mu." (HR. Abu Dawud: 3855, dan dihasankan oleh al-Albani dalam al-Misykat: 3216)
Syaikh al-Albani رحمه الله mengatakan, "Diambil istinbath dari kisah/hadits ini, anjuran menghindari pantangan bagi orang sakit dan orang yang baru sembuh dari sakit."'1
Wallahu A'lam.
1. Mukhtashar asy-Syama'il al-Muhammadiyah, Imam Tirmidzi, diringkas dan ditahqiq oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, 1422 H.