Dalam keadaan nyaris karam dihoyak badai, Kapten Putu, sang nakhoda kapal mendengar suara adzan. “Alhamdulillah atas hidayah Allah,” serunya. Kapal Borobudur melanjutkan pelayaran. Menapak-tilasi Jalur Kayu Manis, rute perdagangan nenek moyang orang Indonesia di zaman sebelum hingga awal-awal Masehi. Setelah mengampuh 26 hari pelayaran dari Jakarta-Pelabuhan Seychelles, rute selanjutnya ke Madagaskar.
Menurut I Gusti Putu Ngurah Sedana, nakhoda kapal Borobudur, rute ini berat. Angin sering mati. Sementara, kapal layar bergantung pada angin. Kalau sudah begini, Muhammad Abdu turun ke gelanggang. Dalam bahasa Bajo, diajaknya angin bicara.
Dipanggilnya angin untuk datang menolong. Meski angin benar-benar datang, apa yang dilakukan Abdu disindir-sindir para pelaut asing di kapal itu. Aha! Pelaut bule yang tak pernah lepas dari peta dan kompas itu belum paham, bahwa orang Bajo bisa mendeteksi angin dengan daun telinganya.
Angin datang. Namun apa boleh buat, datangnya dari arah depan. Motor tempel yang dipasang di kanan-kiri kapal, tak banyak menolong. Bukannya melaju, kapal malah terseret mundur. Para pelaut asing akhirnya angkat tangan. Giliran pelaut Indonesia unjuk kebolehan.
Layar dinaikkan dan disetel dalam sudut tertentu agar disenggol angin,
sehingga perahu bergerak ke kiri, ke kanan. Perahu maju perlahan dengan zig-zag. Gerakan aktif menyetel posisi sudut layar, membuat salah satu layar robek. Tali pengikatnya pun putus. Tapi, perahu Borobudur sampai jua di Pelabuhan Mahajanga, Madagaskar.
Meski jarak yang hanya 700 mil ditempuh selama 17 hari. Bandingkan dengan Jakarta-Seychelles yang 3.300 mil, ditempuh selama 26 hari. Uh, tentu pelayaran yang melelahkan. Di Madagaskar, Kapten Putu dan belasan awak perahu Borobudur disambut serangkaian acara. Sembari itu, perlengkapan yang habis diisi kembali. Yang rusak-rusak diperbaiki.
Badai Dua Samudera
Almanak bertarekh 25 Oktober 2003. Perahu berangkat lagi. Tujuannya Afrika Selatan. Kapal melintasi pertemuan arus Samudera Hindia dan Samudera Atlantik. Ini yang paling gawat
Kapal dihoyak badai. Para awak umumnya histeris. Banyak yang menangis. Kapal tradisional nenek moyang Indonesia itu laksana sabut diombang-ambing arus bah. Awan hitam menggelayut. Petir sambar-menyambar.
Boleh percaya, terserah kalau pun tidak, Kapten Putu, sang nakhoda asal Bali ini tiba-tiba mendengar suara adzan misterius.
“Begitu adzan berhenti, badai pun reda, saya tanya. Ternyata tak satu pun awak kapal yang mengaku melantunkan adzan,” kenangnya dalam sebuah perbincangan panjang, tempo hari.
Kapal tiba di Cape Town, Afrika Selatan. Saat itu lebaran Idul Fitri. Sejumlah awak kapal, turun tanpa pengganti. Kapten Putu meneruskan pelayaran ke Pantai Barat Afrika dengan sisa awaknya. Tiga belas orang.
Pendek kisah, Senin, 23 Februari 2004 sore, perahu bercadik itu lempar sauh di perairan lepas pantai Pelabuhan Tema, Accra, ibu kota Ghana.
Nah apa kabar Kapten Putu? Kini pangkatnya sudah bukan Kapten. Dia menjabat Danlanal Sibolga. Bila bertegur sapa dengan orang yang tak dikenal dia selalu mengawali dengan “assalamualaikum”. Setelah mengucap dua kalimat syahadat, Gusti Putu Ngurah Sedana pun akhirnya menunaikan ibadah haji di tanah suci Makkah.
===============================
SUMBER : www.kabarmakkah.com