![]() |
OH ini ternyata sejarahnya Mitos Larangan menikah Antara orang jawa dan sunda.. |
Cerita tentang mitos dan Perang Bubat ini didasari beberapa sumber, yakni Serat Pararaton dan Kidung Sundayana.
Suku Sunda memiliki beberapa mitos soal pernikahan. Salah satunya, seorang suku Sunda tidak boleh menikahi Jawa. Apabila itu dilanggar maka pernikahannya akan hancur.
Namun, zaman sekarang banyak juga orang Sunda menikah dengan orang Jawa, tetapi tidak terjadi apa-apa. Saat ini banyak yang sudah tidak mempermasalahkan hal tersebut. Namun ada juga yang masih memegang teguh mitos itu. Lantas sebenarnya dari mana mitos itu berasal?
Ternyata berdasarkan cerita dari berbagai literatur, mitos itu berawal dari ingin bersatunya dua kerajaan besar pada zaman dahulu, yakni Majapahit dan Negeri Sunda atau lebih terkenal dengan Kerajaan Padjadjaran.
Saat itu, Raja Majapahit bernama Prabu Hayam Wuruk ingin mempersunting Putri Dyah Pitaloka Citraresmi yang merupakan putri cantik jelita dari Kerajaan Sunda. Karena ada niat itu, Raja Hayam Wuruk mengirim surat kehormatan untuk melamar.
Surat itu disertai undangan yang ditujukan pada Maharaja Linggabuana penguasan Negeri Sunda supaya berkenan datang ke Majapahit. Bak Gayung bersambut, lamaran Prabu Hayam Wuruk disetujui.
Setelah menerima undangan tersebut, Maharaja Linggabuana, Putri Dyah Pitaloka dan banyak petinggi kerajaan datang ke Majapahit dengan berlayar melintasi Laut Jawa. Karena bersifat resmi dan merupakan urusan keluarga, Maharaja Linggabuana hanya diiringi sedikit prajurit saja.
Sesampainya di daerah kekuasaan Majapahit, rombongan kerajaan Sunda mendirikan pesanggrahan atau tempat singgah di Lapangan Bubat tepatnya bagian utara Trowulan, Ibu Kota Majapahit. Maharaja Linggabuana berharap rombongannya disambut dengan meriah oleh Prabu Hayam Wuruk.
Namun ternyata, Mahapatih Gajah Mada yang merupakan patih Kerajaan Majapahit sedang berjanji untuk mempersatukan Nusantara dengan Sumpah Palapa. Dia sedang bekerja keras supaya semua kerajaan di Nusantara bersatu.
Hampir semua kerajaan berhasil ditaklukkan oleh Majapahit. Namun saat itu, negeri Sunda adalah satu-satunya kerajaan yang belum berhasil dikuasai Majapahit. Karena itu, Gajah Mada menyarankan pada Prabu Hayam Wuruk untuk menikahi putri dari Kerajaan Sunda yakni Dyah Pitaloka.
Pernikahan itu disebut-sebut bukanlah dipandang sebagai bentuk pernikahan murni, melainkan tanda menyerahnya Negeri Sunda pada Majapahit. Maharaja Linggabuana disebut-sebut sudah keburu mengetahui taktik Mahapatih Gajahmada.
Saat itu, terjadi ketegangan antara pihak Maharaja Linggabuana dan Gajah Mada, sedangkan Prabu Hayam Wuruk tidak dapat mengambil keputusan. Kemudian akhirnya terjadi perang yang dinamakan Perang Bubat.
Saat itu kondisinya tidak seimbang, kerajaan Sunda hanya membawa sedikit pasukan alhasil semua petinggi kerajaan Negeri Sunda terbunuh termasuk Maharaja Linggabuana. Putri Dyah Pitaloka merasa dikhianati dan mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
1. Titah Prabu Niskalawastu Kancana
Pada saat pertempuran Perang Bubat, tidak semua keluarga Kerajaan Sunda ikut. Salah satunya adalah Prabu Niskalawastu Kancana yang merupakan adik dari Dyah Pitaloka. Setelah tahu ayah dan kakak perempuannya meninggal, Prabu Niskalawastu Kancanaa jadi raja setelah Maharaja Linggabuana terbunuh.
Dalam titahnya, dia membuat kebijakan agar memutuskan segala hubungan dengan Majapahit termasuk melarang orang Sunda untuk bersuami atau beristrikan orang luar.
Larangan bersuami atau beristrikan orang luar ini ternyata dipersepsikan banyak arti, seperti tidak boleh menikah dengan orang di luar lingkungan kerabat Sunda atau juga menikah keturunan Majapahit.
Lama-kelamaan, maka larangan tersebut berkembang menjadi sebuah mitos dengan tafsiran agar orang Sunda tidak boleh menikah dengan orang Jawa.
Akibat tragedi Perang Bubat tersebut, maka reaksi kekecewaan serta kemarahan masyarakat Sunda disertai dengan sentimen mulai ditujukan kepada pihak Majapahit. Hal ini secara turun temurun terus mengakar sampai akhirnya bukan hanya kepada pihak Majapahit, melainkan kepada orang Jawa yang khususnya berasal dari Jawa Timur.
Menurut beberapa sejarawan, sentimen dan rasa kecewa juga marah tersebut berkembang menjadi persaingan yang mempengaruhi sisi kultural dan sosiologi sampai sekarang ini. Memang saat ini, sudah jarang ada yang terus memegang teguh larangan atau melihat mitos tersebut sebagai titah yang harus dilakukan, akan tetapi tidak sedikit pula yang masih mempercayainya.
2. Sumber Rujukan
Sumber-sumber rujukan tertua mengenai adanya perang ini adalah Serat Pararaton yakni adalah sebuah kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 1.126 baris.
Isinya adalah sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga dikenal dengan nama 'Pustaka Raja' yang dalam bahasa Sanskerta juga berarti 'Kitab Raja-raja". Tidak terdapat catatan yang menunjukkan siapa penulis Pararaton.
Kemudian sumber lainnya adalah Kidung Sunda yang merupakan sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan naskahnya ditemukan di Bali. Dalam kidung ini dikisahkan prabu Hayam Wuruk dari Majapahit yang ingin mencari seorang permaisuri, kemudian dia menginginkan putri Sunda yang dalam cerita ini tidak disebutkan namanya.
Dalam kidung tersebut diceritakan bahwa Patih Gajah Mada tidak suka karena orang Sunda dianggapnya harus tunduk kepada orang Majapahit. Kemudian terjadi pertempuran yang tidak seimbang antara rombongan pengantin Sunda dan prajurit Majapahit di pelabuhan tempat berlabuhnya rombongan Sunda. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini rombongan Kerajaan Sunda dibantai dan putri Sunda yang merasa pilu akhirnya bunuh diri. (poy)
===========================
sumber : https://www.otonomi.co.id/news/ternyata-ini-asal-usul-mitos-larangan-menikah-antara-sunda-dan-jawa-161011i/sumber-rujukan.html